#ArsitekPeradaban
So, what are you waiting for?
Be the best "Bucin" of Allah
Be the best "Bucin" of Allah
Setelah kita menginstal worldview Islam yang benar, menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir bersama, mengetahui bahwa rencana Allah adalah sebaik-baiknya rencana, maka pastikan kita menjaga mindset dan karakter sebagaimana Islam ajarkan.
0 Comments
Ketika kita mengalami kesulitan yang berkepanjangan, maka pastikan kita yakin Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuan kita. Dan orang-orang yang bisa mengambil hikmah adalah orang-orang yang beruntung.
Melatih mengambil hikmah. Pembiasaan yang ditujukan untuk menjaga rasa syukur, hal ini juga bisa merupakan tanda dan petunjuk Allah apa yang sebenarnya peran yang Allah ingin sematkan pada kita. Ketika kita berupaya untuk menjadi seorang ahli ekonomi, namun lingkungan sekitar dan bahkan kita rasanya terus menerus dihadapkan dengan masalah psikologis, maka bisa jadi hal itu menjadi pertanda kehadiran kita dibutuhkan pada bidang tersebut. Alih-alih kecewa dan merasa heran berkepanjangan mengapa rasanya tak pernah berhasil, namun pastikan kita percaya Allah-lah sebaik-baiknya sutradara kehidupan kita. Berilah jeda untuk evaluasi diri, lalu ikhtiar kembali dengan apa yang dihadapkan pada kita. Maka benarlah mengapa Allah menyuruh kita ketika dihadapkan banyak masalah, maka makna prioritas tak berarti memilih satu dan meninggalkan yang lain. Namun, kerjakan prioritas dengan fokus terbaik dan juga tetap berupaya sebisa mungkin masalah lainnya. Dalam refleksi singkat, peran apapun yang Allah tunjukkan maka insyaAllah itu adalah sebaik-baiknya peran. Maha benar Allah dengan segala firmannya. -Sebuah refleksi MTR #4: Memilih rRute Terbaik. Sejatinya manusia itu fitrahnya sudah baik. Fitrah kita adalah hamba Allah yang ketika hidupnya terus bergerak dari satu kebaikan kepada kebaikan lainnya. Ketika manusia sudah kembali pada fitrahnya maka segala aktivitas amal akan terasa ringan. Semua ditujukan kepada Allah.
Sekarang, terasa beraktivitas begitu sulit. Semua terasa "menyedihkan", gini-gini aja. Gapapa, alhamdulillah tersadar. Sadar adalah stau langkah untuk terus bergerak, terus mengembalikan fitrah kita. Jangan biarkan perasaan-perasaan diakomodir tidak pada tempatnya, seperti: merasa "kecil" dengan amal ibadah, padahal Allah tak pernah meremehkan manusia. Allah memuliakan manusia. Zaman sekarang, dengan maksud (sisi khusnudzon) pengkategorisasian peran manusia untuk bisa lebih produktif, namun terasa seakan satu peran mengkerdilkan yang lain. Padahal, keduanya tidak mengurangi kemuliaannya. Bagaimana seorang ibu, dihadapkan antara menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Keduanya memang ada rutinitas yang berbeda, namun tidak mencederai peran yang diembannya, terutama amanah mereka yang sama sebagai Hamba Allah. Maka kuranglah tepat ketika ada curahan hati," bolehkah aku hanya sebagai ibu yang mengurus anak?", karena sejatinya seorang ibu tidak hanya bertugas mengurus anak saja, ada peran sebagai anak, istri, bagian dari masyarakat, yang merupakan tutunan dari tugas utama beriman kepada Allah. Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha. Banyaknya peran ini pasti Allah sematkan pada pundak yang mampu mengembannya. Maka ketika kita sudah mendapatkan amanah ini, tugas kita hanya tinggal berusaha sebaik mungkin. Selain manajemen diri, sebetulnya ada manajemen nafsu yang juga tak kalah penting untuk dibangun. Try and take a lesson, bukan try and error. Tidak pernah ada kata error bagi kita yang belajar dan berusaha karena muslim selalu mendapati hikmah dan pembelajaran dari setiap langkah dan ikhtiarnya. -Sebuah insight Moment to Recharge (MTR) bersama Teh Karina Hakman bertemakan "Pilihan Rute Perjalanan". Betapa manusia sangat butuh lingkungan yang mendukung dan menjaga keimanan. Manusia yang berasal dari kata "insan" berarti pelupa.
Mengapa manusia mempunyai kata sifat pelupa? Perlu diketahui bahwa ruh sejatinya beriman dan mengetahui Allah sebagai Illah. Lalu, ketika ruh bersatu dengan jasad, maka manusia akan "mencari" jati dirinya. Hakikat kita di dunia adalah mengembalikan fitrah kita. Kurang tepat ketika kita berharap menjadi manusia yang lebih baik, karena nyatanya kita sudah menjadi baik karena ruh sudah baik. MasyaAllah, begitu mulianya manusia ini Allah ciptakan. Begitu indahnya Islam. Sungguh, rasanya ilmu yang melekat pada diri ini baru pada ingatan pendidikan Islam masa kecil yang mewajibkan sholat, puasa, dan ritual ibadah lainnya namun kajian "hakikat" dan "makna" beriman ini seringkali terlupa. Tanpa sadar, kebahagiaan dunia tersilaukan dengan capaian materi semata, padahal Islam pun sudah menunjukkan apa hakikat kebahagiaan bagi kita (read: ruh kita). Dengan segala keterbatasan manusia, sedih dengan kondisi diri yang terasa masih banyak kurangnya. Maka menyadari segala kekurangan ini semoga menjadi awal dan bukti keimanan dan harap pada Allah agar ibadah Ramadhan ini penuh berkah. Memohon agar segala kelalaian diampuni. Subhanallah, Maha suci Allah dari segala yang buruk. -Insight Kajian "Moment Ro Recharge" Ustadz Akmal membahas "Islamic Worldview" Rasanya tesisku tak kunjung selesai.
Rasanya sudah terlampau jauh sekali berupaya, banyak sekali waktu yang didedikasikan, harapan optimisme yang selalu digaungkan, tapi 50% siap sidang progres saja tak sampai. Teringat Sabtu kemarin akhirnya aku tumbang. Tiduran, berbaring, mata kosong seakan menyimak rekaman interview di kanal youtube, hati penuh tak tenang. Ditanya kabarku malah melelehkan air mata, sendu sekali :") Ketika aku dituntun untuk mengurai beban pikiran dengan runtutan pertanyaan, akhirnya aku sadar bahwa seharusnya tidak perlu ada yang perlu dirisaukan. Betul, tesisku masih belum kunjung selesai, tapi nyatanya segala masalah yang dihadapi sudah ditemukan langkah konkritnya dan dijadwalkan akan bisa dilanjutkan Hari Senin mendatang. Lalu apa yang membuatku merasa sangat tertekan? Akhirnya ku sadari, hal itu karena rasa lelah dirasa tak berkesudahan. Inginnya, perjuangan ini segera berakhir. Walaupun aku sadar, sebetulnya perjuangan ini aku damba-dambakan. Pun sekiranya aku sudah menyelesaikan tesis ini, rasa pahit yang dirasa sekarang tak menyulutku untuk belajar lagi dan bahkan berupaya untuk bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi. Aku hanya lelah. Aku masih membayangkan begitu banyak rencana dan agenda yang bisa kulakukan kalau tesis sudah selesai. Bahkan sebetulnya banyak sekali rencana yang seharusnya sudah bisa ku kerjakan setahun kemarin. Saat lelah seperti ini, aku tau, sebetulnya aku sedang sangat manja karena hanya fokus pada apa yang aku mau. Mirisnya, kuliah yang sedang ku jalani pun adalah hal yang aku impikan. Hanya karena dua tahun berjuang terasa tak memuaskan, ternyata aku cepat berpindah untuk mencari capaian lain. Kabur jadi kata yang lebih tepat. Dan kajian Ahad pagi menyadarkanku. Sungguh, sejatinya kita hidup seharusnya bukanlah berfokus pada apa yang kita suka atau mau, namun seharusnya apa yang Allah mau. Ketika Allah mudahkan aku untuk menempuh magister, maka Allah meridhainya dan tugasku menjalankan amanah ini. Ketika aku telah berupaya untuk menyelesaikan studi ini namun seakan selalu ada hambatan yang membersamai perjalananku, maka aku harus ingat bahwa ada pesan atau pembelajaran dari Allah kepadaku. Perkara aku belum tau dan belum mengerti adalah lain soal, tugasku adalah terus berupaya sampai titiik akhir perjuangan. Berjuang hingga bisa lulus atau berjuang sampai batas studi yang diatur. Dua ini yang menjadi tujuanku, selesai studi dengan terhormat karena sampai darah penghabisan. Dalam momentum Ramadhan ini, dimana idealnya ingin sekali aku menaruh segala urusan dunia dan berfokus untuk memperbanyak amal ibadah. Qadarullah aku rencanakan sebagai masa emas atau titik penghabisan untuk menyelesaikan tesis ini, bahkan malam hari pun akan jadi hari yang chaos untuk membersamai dan berkutat pada tesis. Aku harap, dengan segala ketidakidealan ini, tapi Allah memberkahi apa yang aku upayakan. Pun Allah berikan ketabahan dan kekuatan pula untukku dan orang-orang di sekitarku yang turut mendukung dan membersamai. Tesis ini memang dikarang olehku, namun sejatinya adalah buat perjuangan atas banyak pihak dan atas izin Allah semata. Bismillah! Refleksi ini ditulis setelah bermajelis ilmu bersama ustadz Syatori dalam pembahasan "Adab Ilmu dan Beribadah" "Kadang kau harus meneladani matahari. Ia cinta pada bumi.
Tapi ia mengerti, mendekat pada sang kekasih justru membinasakan." - Gurunda Salim A. Fillah Sebagai orang yang tidak kuat mendengar prosa romantisme yang sangat berjibaku dengan perihal perasaan manusia semata, pengilustrasian dengan kondisi alam semesta masih bisa ku tolerir tingkat cheezy-nya dan terasa lebih indah jika dimaknai. Quotes rasa kasih matahari pada bumi salah satunya. Matahari sebagai pusat tata surya, sangat tau pasti bahwa keberadaannya dibutuhkan, termasuk oleh sang pujaan hati, Bumi. Sekiranya ada rasa egois untuk tetap menjalin hubungan lebih dekat dari yang diperbolehkan, maka kebahagiaan yang diimpikan hanyalah imajinasi belaka. Dengan mudah, sifat panas matahari akan menghancurkan Bumi. Jika itu terjadi, sama saja seperti mempercepat proses kiamat. Memang, alam semesta bertasbih padaNya dengan sebenar-benarnya iman. Tak pernah sedikitpun terpikir untuk mengingkari Allah. Pertanyaannya untuk kita para manusia, apakah kita sudah menaruh ketaatan padaNya dan menjaga perasaan pada manusia sesuai porsinya? :) Kalau mengingat ilustrasi matahari pada bumi, rasanya ingin semakin menjaga ketaqwaan ini ya. Berharap ikhtiar ini akan membawa diri ini dan pujaan hati kembali ke padaNya dengan kondisi terbaik. Sekalipun, cinta ini tak berjodoh di dunia, bukanlah suatu permasalahan. Fokusnya bukan pada doi yang akan bersama siapa, apalagi memaksakan Allah untuk menjadikan doi yang "itu" lah yang harus jadi jodoh kita. Tapi sejauh mana diri ini mempersiapkan diri menjadi sebaik-baik Hamba yang bertaqwa padaNya. Khawatirku, kuharap aku bukanlah alasan kamu menjauh dari Allah. Kalau memang dekatnya kita menjauhkan kita dari keimanan kepadaNya, mari kita sudahi hubungan ini. Mungkin kita ini bagaikan Matahari dan Bumi, saling mencintai namun tidak ditakdirkan untuk membersamai sebagai soulmate di dunia. Tapi insyaAllah, kejaran kita sama-sama mencapai JannahNya bukan? :) Sebelum menulis postingan dengan judul yang cukup menggelitik ini (Aslinya, ini judul galau beud wgwgw), sempet scrolling postingan web diri sendiri.
Dan yes, aku sadar, ternyata gue belum mengenal diri sendiri wgwgwgwgwg ((ketawa miris)) Pasalnya, semua bahasan tentang hakikat diri cuy. Hakikat jadi manusia, perempuan, anak, dan peran-peran lainnya. Sudah tau ilmu, bahkan khatam, tidak menjadikan diri ini sudah terinternalisasi dengan sempurna yaa… Ayo, kelarkan urusan pribadi biar bisa move-on bahas yang lebih dibutuhkan orang banyak! Tapi buat sekarang, Yaudah, gapapa, terima aja :) ----- Ya, dengan judul "Aku yang lemah tanpamu". Kata imbuhan 'mu' diakhir kata tanpa ditujukan pada manusia. Hal yang sangat aku pribadi hindari untuk disampaikan, terutama di ruang publik. Apalagi dalam postingan tertulis dan di internet yang secara sistematis merekam segala jejak petualang di dunia maya kita. Menyampaikan ketergantungan pada manusia aku khawatirkan akan menggantikan peran Allah sebagai Dzat yang Maha Agung, terutama melihat fenomena begitu banyaknya manusia yang saling galau satu sama lain akibat dikecewakan oleh manusia. Tapi, kalau kita telusuri lebih jauh. Ternyata menaruh harap pada manusia itu tidak salah. Bukankah kita diminta untuk membangun hablumninallah dan habluminannas oleh Allah? Habluminallah, hubungan dengan Allah, tidak menjadikan kita lupa hakikat kita sebagai makhluk sosial. Adapun manusia pun tidak diindahkan menaruh harap pada manusia pada tingkatan tertinggi. Jadi, Allah memang secara sengaja menguji kesungguhan kita dalam menjalankan tugas membangun hubungan ke Tuhan dan manusia dengan proporsi yang tepat. Bahkan, jika ingin mengambil hikmah lainnya. Memang Allah secara sengaja menitipkan rasa galau ketika kita dikecewakan oleh manusia sebagai alarm untuk kembali padaNya. Cintanya mengingatkan bahwa Allah-lah yang Maha membolak-balikkan hati manusia dan hanya kepada Allah-lah kita kembali untuk meminta pertolongan. Telaah diri akan mudahnya tumbang, terkuak satu masalah psikis. Ternyata, gue terbiasa menaruh harap pada satu orang. Diri yang mengklaim sebagai orang yang jarang curhat, bisa semua sendiri, dan kuat ini ternyata terbiasa dikuatkan oleh satu teman yang Allah pertemukan dalam banyak lingkaran kebaikan. Pada setiap waktunya, bercerita dengannya hanya dalam rangka membangun hubungan agar tidak ada salah faham, ternyata itu merupakan kebutuhan diri yang tidak disadari. Hingga akhirnya disadarkan ketika kawanku ini sekarang tidak dalam lingkaran yang sama. Secara kadar curhat, mungkin kadar durasi ceritaku tidak selama perempuan pada umumnya (source: data pribadi, diri sendiri dibandingkan dengan kawan-kawan perempuan yang curhat ke Endah.) Tapi adanya rasa nyaman dengan kondisi ada satu orang yang mengetahui apa yang kita jalani cukup menenangkan hati. Seminimalnya memastikan aku masih dalam koridor yang benar. Percayalah, mengakui hal ini saja rasanya cukup sulit. Hampir mau satu tahun kawanku pergi dan aku baru mengakuinya sekarang, Luar biasa. Yang beratnya lagi, sejujurnya, ketika ada kumpul dengan kawanku ini, terasa sangat berat. Pernah saat itu aku hadir dan pertemuan reuni dan terasa berat untuk hadir karena kukira rasa berat itu hadir akibat badan kurang sehat saja. Karakter dia yang perhatian, menanyakan kabarku dan kawan-kawaku yang lain secara sistematis dan detail yang mengalir dengan baik. Kita bisa merasakan intensi seorang kawan yang menyayangi kita. Tapi sifatnya itu yang justru membuatku banyak terdiam, ku menjawab pertanyaan sekedarnya. Aku cukup khawatir jika cerita yang aku resahkan bukan porsi untuk beliau ketahui. Cukup sulit, memang. Dipikir-pikir, gue akhirnya cukup faham. Ketika diceritakan kalau sudah menikah maka Sang Istri harus menjaga aib suaminya, which means tidak mengumbar permasalahan rumah tangga ke khal layak umum. Tidak heran, batasan ini akan terasa sulit bagi orang yang sudah terbiasa berbicara pada satu teman terdekat. Bahkan termasuk menahan bercerita kepada keluarga sendiri, diluar keluarga inti. Kesadaran ini membawaku untuk membuka solusi-solusi konkrit yang cukup lama direalisasi akibat lambannya untuk disadari. Tak apa Endah, kamu semakin jauh lebih baik :) Untuk kawanku tercinta, Terimakasih untuk kasih sayangnya selama ini. Do'a terbaik untukmu. Manusia seringkali butuh momentum.
Atau setidaknya, kebanyakan orang terbiasa dalam perencanaan tahunan. Baik bicara pengembangan perusahaan, organsiasi, komunitas dan agenda kebaikan lainnya. Maka, secara gerak pribadi akhrinya menjadikan perubahan tahunan sebagai kunci titik kehidupan. Biasanya dibahas dalam Bahasa resolusi. Resolusiku tidak ada yang berubah, bahkan bisa dibilang aku menata ulang timeline yang sebelumnya dibuat. Evaluasiku, aku terlalu kejar tayang terhadap hasil, hingga proses banyak yang tidak aku tidak pedulikan. Atau, lebih tepatnya, aku desain untuk mempercepat beberapa tahapan dalam satu langkah. Padahal ada esensi lain yang sedang Allah sampaikan pada setiap tahapannya. Aku merencanakan untuk tidak peduli dan itu cukup berbahaya. Di sisi lain, aku mewajarkan diri sendiri. Dunia rasanya bergerak sangat cepat dan aku memacu diri agar jangan sampai tertinggal dengan majunya zaman. Aku penuhi diri ini dengan problematikan dunia, agar tak ada celah untuk berpikir hal kecil, agar tak mengeluh dengan masalah pribadi. Ya, aku berhasil. Aku kerahkan seluruh tenaga, pikiran dan hati ini untuk terus bergerak. Hariku penuh dengan agenda, bahkan weekend menjadi hari tersibuk sepanjang masa. Aku merasa waktu kerja (read: kuliah) justru menjadi waktu istirahatku. Menarik. Sampai akhirnya kudapati rotasi waktu, ketika aku Lelah dan badan terbaring. Rasa bersalah begitu menghantui. Bahkan ga jarang (read: sering banget malah) pada titik waktu ini menjauhi semua orang, perasaan kesal dengan diri sendiri dan takut bertemu orang begitu kuat. Cukup aneh. Rumah menjadi tempat kembali menjadi terasa menyeramkan. Orang terdekat terasa mencekam diri ini ketika aku sakit. Semakin Aneh. Banyak hal yang perlu untuk dijawab, terutama oleh diri sendiri. Ada apa dengan Endah? :) Satu hal yang pasti, saat aku menyadari kebingungan akan pertanyaan sendiri ini. Artinya, aku cukup abai dengan diri sendiri. Aku perlu untuk lebih sadar. Maka, setelah berbicara dengan orang terdekat, ku putuskan untuk membatasi kegiatan eksternal diri. Internalisasi diri akan lebih dominan. Agendaku akan kupadati dengan kontemplasi diri. Ku tulis disini, sebagai deklarasi, langkah mundur ini tak menjadi alibi acuh dengan dunia luar. Aku hanya sedang mengumpulkan persiapan dan perlengkapan peperangan. Seminimalnya untuk kebutuhan diri. Karena aku yakin dan aku tau pasti, jika ingin bermanfaat keluar, maka pastikan kita sudah beres dengan diri sendiri. Alhamdulillah, Allah berikan kemudahan untuk bisa membuka laptop, menulis dan beraktivitas kembali.
Di Bulan Ramadhan ini, qadarullah Allah titipkan sakit selama dua minggu setelah seminggu berlangsungnya ibadah puasa. Mau tidak mau, semua rencana jadwal produktifku tidak berjalan. Hmm... sakitku sebenarnya hanyalah batuk tapi drama-nya bermacam-macam. Baru kali ini aku merasakan batuk yang membuat kepala pusing. Seringnya batuk berkelanjutan dengan rentang waktu cukup berdekatan ini tidak jarang membuat makanan yang sudah masuk pun keluar lagi :") Jangankan untuk beraktivitas, untuk duduk tenang sambil membaca buku kesukaan saja rasanya sulit. Tidak bisa berkonsentrasi. Alih-alih batuk terus terjadi, aku memilih untuk tidur, dengan harapan memilih aktivitas istirahat bisa membuat hidup lebih nyaman. Nyatanya, realita tidak seindah harapan. Sekitar sejam atau dua jam sekali, pasti aku terbangun dan berbatuk ria. Ketika aku merasakan makanan akan naik ke atas. Maka aku segera duduk dan menegakkan badan, berharap makananku bisa aku cerna. Walaupun kepala pusing yang sepertinya akumulasi seringnya batuk dan terlalu cepatnya aku bangun dari tidur, yang aku pikirkan adalah makanan yang aku santap saat sahur tidak keluar. Aku percaya, salah satu kunci sehat itu banyak makan dan istirahat. Menariknya, sakitku kali ini walaupun merupakan sakit terparah namun aku merasakan kemajuan yang cukup pesat dalam penguasaan diri. pada minggu awal puasa sebelum aku sakit, aku mengikuti kelas terapi memaafkan, suatu kelas menarik yang kedengarannya aneh tapi aku membutuhkannya. zbegitu banyak sakit hati, dendam ataupun trauma yang membentuk diri Endah saat ini. Aku tidak menyesalkan setiap kejadiannya karena aku tau momentum-momentum itu pun turut membantu membangun diri Endah yang lebih baik. Tapi aku harus segera berdamai dengan hal itu agar ketika aku sakit yang notabene-nya sulit dalam pengendalian diri (terutama dalam hal perasaan) tidak turut memperparah sakit yang aku rasakan. Dari dulu, aku memang tidak suka sakit (siapa juga yang suka sakit? wgwg). Dulu, menurutku, sakit adalah tanda kelemahan. Sakit itu kan terjadi karena kesalahan kita sendiri, entah pola makan, pola tidur atau kebutuhan tubuh yang terakomodir dengan baik sehingga ketika menghadapi lingkungan yang tidak sehat dapat langsung menyerang pertahanan tubuh. Tapi aku lupa, sakit itu pun kan ujian dari Allah. Dia menguji sejauh mana keimanan kita. Sejauh mana kita tetap teguh pada tauhid. Maka sungguh, menyalahkan diri ini karena kondisi sakit bukankah sama dengan tidak ikhlas akan ketetapan Allah? Betapa hebatnya Nabi Ayyub yang masih teguh dalam keimanan (dan pasti pula ibadahnya) ketika ditimpa musibah hilangnya keluarga, harta dan kesehatan dalam waktu yang sekejap saja. Sakitnya luar biasa, namun hanya syukur dan sabar yang terus terucap dan tampak pada perbuatannya. Aku adalah selemah-lemahnya manusia yang memilih untuk tidur di bulan Ramadhan ini dengan harapan bisa segera sembuh dan dapat beribadah dengan nyaman kembali :") Aku banyak belajar dari sakit ini dan waktu Ramadhan masih ada seminggu lagi, semoga aku bisa memanfaatkan sisa waktu ini dengan sebaik-baiknya. Aamiin. "keep your friends close, and your enemies closer"
jagalah teman terdekatmu, dan pastikan musuhmu pun dekat (kenal). Hidup ini adalah sebuah peperangan. Peperangan melawan hawa nafsu pribadi, peperangan membebaskan tawanan yang merupakan saudara kita, peperangan melawan musuh yang berbahaya, musuh abadi kita ada syetan dan sanak keluarganya (baik dari kalangan jin dan manusia), sedangkan tawanan adalah orang-orang yang menjadi korban musuh bebuyutan kita. Sungguh, kamu lebih baik Ndah! Kemarin malam kamu terkoyak sejadi-jadinya, menyadari hati begitu sesak. Tanpa egomu belum terselesaikan. Tapi kamu telah melakukan pengobatan pertama dengan sangat baik. Ditengah iman seadanya, fitrah datang bulan menghampiri, dan tercuat kembali masalah dan hari ini kamu bisa beraktivitas: Mentalmu lebih kuat dari kemarin. ----- Aku titip pesan untukmu, Ndah. Kita belum tau pasti cara menyelesaikan sakit hati ini, tapi kamu tau orang-orang yang kamu hindari sejatinya ingin berbuat baik kepadamu, maka pastikan: 1. Ruhiyahmu dijaga dalam keadaan baik, bahkan pastikan dalam kondisi terbaik 2. Tetap berkomunikasi produktif 3. Kamu bisa "menertawakan" kebodohan dan kelalaianmu Dengan menjaga kualitas diri, tidak menghindari subjek tertentu dan menerima segala kekurangan, maka kamu akan dapat menerima masalah-masalah lain. Ya, kita mempersiapkan diri siap ditempa masalah, karena aku ingin derajatku ditinggikan olehNya. "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." - Al Baqarah (2): 214 |
Authorendah. Archives
January 2020
Categories
All
|